Powered by Blogger.

Saturday 1 November 2014

Filled Under:

Sepucuk Harapan

Share
Sepucuk Harapan

Lembayung merona menatap jingga senja. Memaparkan arti kehidupan sesungguhnya. Sekitar dua puluh ribu manusia hilir mudik meramaikan panggung sandiwara. Oh, sungguh dunia malam telah tiba. Kembang api bagaikan lukisan yang menghiasi langit malam. Tiup terompet semerbak menandai detik-detik jelang bergantinya tahun. Betapa, indahnya malam itu.
Nun jauh dari sana, Satu dari mereka termenung. Ya, hanya satu dari mereka yang hanya tersudut dibawah rembulan memandang betapa menyedihkannya bumi ini.
***
Malam tahun baru telah usai, kini saatnya wajah-wajah lesu itu bangkit dari ranjang mereka dan percaya akan datang sesuatu yang lebih baik dari tahun lalu. Nyatanya, Tidak Demikian!
Seorang anak masih termenung, sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari siapa yang peduli. Bukan padanya, tapi pada tumpukan limbah yang bahkan ia tidak tahu berasal dari nama.
            “Dik...” terdengar sosok suara memanggil.
Dia yang tidak disebutkan namanya terus mencari sampai kemanapun suara itu membawanya. Mengejar walaupun sampai ke langit sekalipun. Suara itu membawanya ke jalan berbukit dan berbatu-batu yang terjal. Hingga akhirnya menghilang di puncak bukit.
Tepat di atas bukit, tampak jelas tumpukan sampah yang mungkin hanya disadari olehnya. Pasti terlihat oleh siapapun yang berdiri di atas bukit ini seraya menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa menyadari betapa kusutnya kota ini.
            “Dik...” suara tersebut muncul kembali.
Sekejap badannya bergetar hebat, dia merasakan getaran di sekujur tubuhnya. Tidak ada satupun orang di puncak bukit itu. Rambut-rambut halus di seluruh badannya menegak, menandakan rasa ketakutan yang memuncak.
            “Dik...” kini terdengar semakin jelas dan nyata.
Suara langkah kaki berderap, rasanya seperti berjalan tepat ke arahnya. Sebelum akhirnya, dia menyadari ada seseorang yang menepuk pundaknya.
            “Dik...”
Begitu melihat wajah tua itu, suara yang sudah hampir habis dimakan zaman, usia renta jelang senja kehidupan nampak nyata, Bocah dua belas tahun itu langsung tahu siapa yang berada di hadapannya.
            “Dik... Datuk mengikutimu sedari tadi. Hanya termenung sedih. Ada apa gerangan?”
            “A..aku hanya sedih datuk. Melihat tumpukan sampah yang menggunung,” jawab bocah itu dengan sangat hati-hati dan disertai rasa segan
Mendengar jawaban dari bocah tersebut, Datuk tersenyum berseri-seri. Wajahnya seperti memancarkan aura – yang tidak semua orang dapat melihatnya. Perlahan, Datuk merangkul bocah berkulit hitam itu.
            “Sebelumnya datuk selalu bersedih akan nasib bangsa ini dibawah para tunas bangsa yang selalu berfoya-foya dan hidup dalam kemewahan. Malam ini, datuk mendapatkan jawaban yang pasti. Bukan dari siapa-siapa melainkan seorang bocah yang tidak ada artinya di hadapan para ‘manusia bermartabat’,” ujar beliau.
            “Kini, datuk merasa tenang meninggalkan dunia ini. Karena datuk tahu tuhan selalu mewariskan ‘mereka’. Mereka para malaikat penjaga bumi. Mereka yang hatinya tidak tenang melihat kusutnya bumi ini. Sekarang, bumi ini Datuk serahkan padamu. Jagalah bumi ini dengan segenap hati,” lanjut beliau.
Suara yang barusan terdengar semakin lama semakin lenyap. Tubuh datuk perlahan-lahan lenyap, tidak terkecuali dengan bocah yang sedari tadi bersamanya.
***
Hoahmm, dia terbangun di atas tumpukan sampah yang ada di hadapannya. Mimpi yang baru saja ia alami, terasa sangat nyata – tidak ada yang tahu itu. Namun entahlah, di dalam lubuk hati, dia mengiyakan pesan datuk. Menjaganya dari tumpukan sampah hasil dari bergelimangan harta yang selalu dibuang-buang – seakan tidak berharga dan juga menjaganya dari tangan-tangan jahil yang suka mencubiti sumber alam bumi sampai habis.

Why leave better planet to our kids?

Why don’t we leave BETTER KIDS to the planet instead?

0 comments:

Post a Comment

 

΄