Di Ufuk Timur Langit Merah Putih
Tuhan..., tolong lindungi kami dari
segala bahaya yang selalu mengancam diri kami. Ya Tuhan..., tolong selamatkan
jiwa raga kami. Jangan biarkan mereka merenggut nyawa kami.
Jeeedaaar! Suara itu terdengar keras
menembus telingaku. “Semuanya Tiarap!” seru Bu Lome, ibu guruku. Suara itu
disambut beberapa bunyi peluru lainnya. Praaang! Kaca kelas kami pecah
berhamburan. Keceriaan dan kebahagian kami seketika berubah menjadi kemuraman.
Orang-orang bertubuh besar melepaskan beberapa tembakan. Aku terbungkam dalam
suasana yang sama sekali tidak kusangka-sangka sebelumnya. Dengan cekatan,
kuayunkan langkah menerobos kerumunan.
Terpikir olehku kejadian mencekam yang
baru saja kualami. Di penghujung tahun 1998, kerusuhan sering terjadi antara
golongan pro-kemerdekaan dan golongan anti-kemerdekaan yang berujung
mengungsinya warga Timor Timur. Sebelumnya aku memang tinggal di Dili, ibukota
provinsi Timor Timur. Namun karena adanya isu Timor Timur akan lepas dari
Indonesia, aku terpaksa mengungsi ke Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Sesampaiku
di rumah, aku mengeluarkan sehelai kertas, lalu menulisnya
‘Kini, Terbayang dalam benakku, kerusuhan dua tahun
yang lalu. Kerusuhan yang merenggut nyawa ayahku. Waktu itu, ayahku yang
merupakan golongan anti-kemerdekaan tidak menginginkan Timor Timur lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara baru....’ Begitu
kutuliskan di sepucuk surat yang akan kutujukan kepada sosok Idolaku.
***
“Hoaaahm...” Aku terbangun dari tidurku.
Pagi itu, mentari belum menampakkan sinarnya. Semilir angin pagi menusuk
tulangku. Ingin rasanya aku kembali meringkuk di kasur seraya memeluk selimut
yang hangat. Namun, kurasa itu tak mungkin karena pagi sudah hampir tiba. Aku
mengenakan seragam sekolahku. Sebelum berangkat ke sekolah, tak lupa aku
menyempatkan berpamitan diri kepada ibu. “Ibu, aku akan pergi ke sekolah,”. “Jangan
nakal anakku sayang. Doa ibu menyertaimu,” Begitulah sepenggal doa yang selalu
mengiringiku menuju sekolah.
Sekolahku berjarak empat kilometer dari
pusat kota Atambua, Nusa Tenggara Timur. Sebelum itu, aku harus naik angkutan
di terminal yang berjarak lima ratus meter dari rumahku. Sang surya kini mulai
menampakkan sinarnya, seakan membakar api semangatku. Mengantarkanku ke suatu
tempat dengan tujuan mulia. Seraya meniti langkah menuju sekolah,
kusenandungkan sepotong lirik lagu “Bolelebo ita nusa lelebo~”
“Gaby!” sosok wanita memanggilku dari
kejauhan. “Jessie!” Ia adalah teman dekatku. Jessie merupakan keturunan dari
orangtuanya yang memiliki darah Kupang-Australia. Jessie dapat berbahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, namun ia tidak bisa berbahasa Tetun. Tidak
terasa, Kini tibalah aku di angkutan yang akan membawaku pergi ke sekolah.
Tiga puluh menit berlalu. Angkutan yang
membawaku kini tiba di sekolah. Suasana sekolah sudah ramai, namun tidak ada
keceriaan dan kegembiraan. Yang ada hanyalah suasana mencekam. Garis polisi
dipasang dimana-mana. Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku
melihat sekeliling, tidak ada teman-temanku. Apa yang telah terjadi? aku pun
bertanya-tanya dalam hati.
Dap... Dap....
Aku mendengar suara
langkah kaki mendekatiku.
“Ama
(Pak) Marco!” seruku. “Kenapa pak? Apa yang
terjadi?” Air mata membanjiri pipiku. “Daerah
ini menjadi milik Timor Lorosae,” jelas pak Marco. Aku terperangah mendengar
apa yang barusan kudengar. Bukannya tanah ini tanah milik Indonesia? Tanah peninggalan
leluhur kita,” Aku semakin kebingungan.
Tanah yang selama ini milik leluhur,
harus kami relakan berpindahtangan. Aku kehilangan teman-teman, guru, dan masa
depanku. Maafkan kami wahai para leluhur. Kami telah gagal menjaga
kepercayaanmu, menjaga tanah subur yang kau rawat dengan kasih sayang dan kau
wariskan kepada kami.
Tiba-tiba, “Jeedaaar!” suara peluru
kembali terdengar. Bahkan, kini terdengar semakin keras. “Jessie!” teriakku
sambil mengulurkan tangan. Jessie masih terhanyut dalam suasana. Ia masih tidak
percaya dengan apa yang ia lihat. Dengan sigap kutarik lengan Jessie ke sebuah
angkutan. “Pak, cepat jalan!!” Aku
berteriak kepada pak supir. “Sudah kucoba, tapi
tetap tidak bisa,” Beliau terlihat panik. Aku pun bertambah bimbang, kenapa
mobilnya harus mogok pada saat seperti ini.
Aku melihat mobil lain melaju dengan
kecepatan tinggi. Aku dan Jessie segera keluar dari angkutan dan berlari
mengejar mobil itu. “Paman Jetty?” aku terkejut. Paman Jetty adalah adik ibuku.
“Kenapa kalian bisa ada di sini? Ayo cepat naik!” seru Paman Jetty. Jessie
terlihat kebingungan, ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Paman
Jetty. “Paman, berbahasa Indonesia yang baik dan benar dong! Jangan berbahasa
Tetun, saya tidak mengerti,” protes Jessie. “Daerah ini sudah tidak aman. Ayo
kita pergi dari sini!” seru Paman Jetty. “Tapi, bagaimana dengan sekolah kami?”
aku bertanya kepada Paman Jetty. “Yang jelas, kalian harus pergi jauh dari
sini”. Paman Jetty memberi kami nasihat. “Rumahmu dimana, sayang?” tanya Paman
Jetty. “Rumahku disana. Di belakang warung kecil itu. Terimakasih,” ucap
Jessie. Paman Jetty mengantar Jessie ke rumahnya.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di
rumah. “Aira! Keadaan di Motaain sudah parah, kita harus pindah dari Atambua,”
seru paman Jetty. “Sudah kuduga akan terjadi seperti ini, kemana lagi kita akan
mengungsi? Kita tidak mempunyai sanak saudara di luar sana!” Ibu terlihat
sangat kebingungan. “Apapun yang terjadi, kita harus pergi
dari sini, besok kau akan kujemput” Paman Jetty sudah
pergi sebelum ibu sempat menjawab dengan sepatah kata.
Aku mengurung diri di dalam kamar. Aku
masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku merasa bimbang dengan
semua ini. Kubaringkan tubuhku di pulau kapuk, perlahan kutarik selimut. Tok
Tok Tok! Kudengar suara ketukan pintu. “Siapa?!” aku bertanya dari dalam kamar.
“Aku Jessie!” seru sosok suara.
Rasanya malas sekali untuk bangkit dan membukakan
pintu. Krieek! “Ada apa Jessie?” Saat itu mataku masih terpejam, aku lelah
sekali. Di dalam hati aku menggerutu, Huh, mengganggu tidurku saja.
Mata
Jessie berkaca-kaca, air matanya tak dapat dibendung lagi. “Ada apa
Jessie? Ceritakan padaku!” Aku mulai panik. “Ka-kata
ayahku, aku akan pindah ke Australia. Indonesia sudah tidak aman, Gaby!” seru
Jessie. “Apa? Kenapa harus pindah? Apa tidak bisa hidup berdampingan? Kenapa
dunia ini kejam sekali kepada kami?” Seketika aku ambruk pingsan. “Ga..Gaby.
Maafkan aku. Aku
harus pergi. Semoga kau selalu ingat persahabatan
kita”. Aku mendengar samar-samar suara yang perlahan menghilang.
... “Gaby,” desah suara sayup-sayup
memanggil namaku. Kini, sosok misterius muncul di hadapanku. “Ayah!” Aku berteriak senang lalu
memeluk ayah. “Aku kangen ayah,”.
Ayah membelai pipiku “Ternyata anak ayah sudah sebesar ini,
ya,” Ayah
mencubit-cubit pipiku. A..ayah, aku keluar dari kerusuhan NTT,”
Bicaraku jadi berantakan karena baru sadar dengan apa yang ‘kulihat. Ayahku
meninggal sejak dua tahun yang lalu. Jadi, dengan siapa aku berbicara?
“Kalian pindah saja
dari NTT, aku tidak mau melihat kalian bernasib sama
denganku!” seru ayah dengan nada tinggi. “Apa! Ayah
yang selama ini tidak seperti itu, aku tidak mau pindah dan besok pun ‘ku
pastikan tidak ada yang pindah!” Semangatku membara-bara. “Itu baru anak ayah,” Perlahan suara
tersebut sirna. Aku terbangun dari tidurku. Ah ternyata hanya mimpi,
gumamku.
Ayah..., terimakasih atas semangat yang
kauberikan! Kutahu kau sengaja mampir di dalam mimpiku, untuk memberikan
sesuatu yang selama ini terpendam, yaitu semangatku untuk mengubah dunia dan
cita-citaku untuk membawa perdamaian dan rasa toleransi dalam bermasyarakat.
Terimakasih ayah.
***
‘Kepada : Bapak Presiden Indonesia B.J
Habibie’ begitu tertulis di amplop suratku. Entah kapan surat ini akan sampai
atau bahkan surat ini tidak akan pernah sampai ke tangan Bapak Presiden.
Kugenggam surat ini dengan satu harapan, yang jelas aku ingin sekali Bapak
Presiden membaca atau sekedar melihat sedikit lembaran-lembaran suratku.
Hembusan angin menerbangkan rambutku
seakan membawaku ke suatu tempat. Pagi itu, sekitar pukul 06:34 ‘kuberjalan
menuju terminal secara sembunyi-sembunyi, agar tidak tertangkap basah oleh ibu.
Kalau sudah ketahuan, pasti aku dilarang pergi kesana. Kriiekk! Aku menutup
pintu rumah. “Siapa itu?” Aku
mendengar sosok suara. Gawat, ibu! gumamku dalam hati.
“Gaby?
Apakah itu kau? Gaby!” Terdengar suara ibu dari dalam rumah. Aku berlari
menuju terminal, berlari dan terus berlari. Perlahan tapi pasti. aku pun sampai
di terminal Atambua. Sebuah mobil angkutan sudah terparkir di bawah pohon. “Pak!
Antarkan aku ke Motaain sekarang juga!” seruku.
Tapi, bapak berangkat mulai jam delapan nanti,”
jawab bapak yang biasa membawaku ke Motaain.
“Tidak ada waktu lagi pak, cepat jalan! Nanti
kubayar sepuluh kali lipat,” tawarku. Dengan cepat, beliau mengemudikan mobil.
Hanya beberapa langkah sebelum ibu sampai di terminal.
Maafkan aku ibu. Maafkanlah diriku yang
telah melawanmu. Kumohon ibu, tolong jangan kejar anakmu yang keras kepala ini.
Beberapa menit berlalu, mobil yang
mengangkutku sudah sampai di Motaain. Ya Tuhan..., Ternyata sekolahku sudah
hancur seperti ini. Kenapa mereka tidak bisa menghargai kami? Aku
bertanya-tanya dalam hati.
Tiba-tiba saja, Jeedaaar! Suara peluru
itu lagi, gumamku. Kerumunan itu mulai mendekat. “Kau, cepat naik ke mobil!” seru Bapak itu. “Tidak pak, aku di sini saja,”
Aku menolak ajakannya. Beliau terlihat semakin panik karena kerumunan
semakin mendekat. Bapak itu memperingatkanku lagi. Tapi, Terlambat, kerusuhan
di Atambua tidak dapat dihindari.
“Gabyy!!!” teriak sosok suara. “Paman
Jetty!” seruku. “Apa yang kamu lakukan disini? Ikut paman, kita pindah dari
Atambua!” teriak Paman Jetty. “Aku tidak mau pindah dari Atambua, paman,
tinggalkan aku di sini!” Aku mengelak. “Gaby, Lakukan saja apa yang kamu mau,
ibu percayakan pada dirimu” Ibu menyemangatiku sambil mengelap air
mataku yang mengalir deras. “Aira! Apa
yang kamu lakukan! Cepat pergi dari sini! Suruh anakmu berhenti!” ajak
Paman Jetty. “Tidak, Jetty. Biarkan ia melakukan apa yang ia mau,” tolak ibu.
Sementara itu, kerusuhan semakin
menjadi-jadi. Entah sudah berapa nyawa melayang sia-sia. Entah berapa tetes
darah terbuang percuma hanya karena perselisihan yang tiada habis-habisnya ini.
“Merdeka!” seru salah seorang sambil membawa bendera Indonesia. Huh, merdeka
apanya? Seharusnya kemerdekaan diisi dengan prestasi bukan dengan ‘ribut’ yang
tidak ada gunanya seperti ini. Tidak adakah jiwa toleransi dalam diri kalian?
Tidak adakah rasa belas kasihan dalam diri kalian?
“Hentikaaan! Tolong hentikan semua ini!”
Aku berteriak sekencang mungkin. “Anak kecil jangan campuri urusan kami! Kami
hanya merebut yang menjadi hak kami, tanah leluhur kami!” seru salah seorang
disambut sorak sorai ria. “Aku memang anak kecil! Tapi aku tidak punya pikiran
seperti anak kecil
layaknya kalian semua. Memangnya dengan bertengkar
bisa menyelesaikan masalah?” Aku mengencangkan suaraku. “Anak kecil jangan ikut
campur urusan kami!” seorang pemuda berteriak menentang perkataanku.
“Tidak adakah rasa saling menghargai
dalam diri kalian? Tidak adakah rasa saling menghormati dalam diri kalian?
Tanah yang sudah jatuh ke pihak lain, tidak dapat kita rebut dengan cara
seperti ini!” Aku menitikkan air mataku.
“Tolong... Hentikan kegiatan ‘sia-sia’ ini, jangan
sampai ada korban jiwa,” lanjutku sambil mengelap air mataku yang membanjiri
pipiku.
Jeedaarrrrr! Sebuah peluru dilayangkan.
Buushh! Sebuah peluru melayang dalam sekejap mata, menembus tubuhku tepat di
dada. Rasanya sakit, namun tidak sesakit hatiku menyaksikan semua ini. Sepucuk
surat terjatuh dari genggaman tanganku. “Gaabby!” aku mendengar sosok suara.
“Ibu...” rintihku.
Aku terjatuh tepat di pangkuan ibu. Tangis ibu tidak
dapat dibendung. “Ibu..Maafkan aku,”. “Gaby! Bertahanlah!”. Mobil Ambulans dipanggil segera untuk
menanganiku dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Namun, apa daya. Semua sudah
terlambat, nyawaku tak tertolong. Detik itu juga kuhembuskan nafas terakhirku.
Aku bangga telah berkorban demi bangsa. Kini ‘ku telah tenang berada di
sisi-Nya. “Ayah... ‘Ku datang menyusulmu ke surga,”.
***
Tiga bulan kejadian itu, sepucuk surat
sampai di Istana Negara. Di Amplop surat bertuliskan nama pengirim “Gabriella
Patricia Fernandez’ yang ditujukan kepada ‘Bapak Presiden Indonesia B.J
Habibie’. Seorang bapak dengan gelar tertinggi di Indonesia terlihat membaca
lembaran-lembaran surat yang ia terima. Beliau menitikkan air mata tanda haru.
Ditutupnya lembaran-lembaran surat yang dikirim dari perbatasan Motaain.
Di Dili, 4 September 1999 diadakan
sebuah jajak pendapat yang dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. Beberapa
waktu setelah itu, Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia. Merdeka menjadi
sebuah negara baru. Setelah itu, tidak ada lagi kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi. Kini, kedua negara itu saling hidup berdampingan dengan harmonis di
Pulau Timor.
Kini, di ufuk timur
langit merah putih, telah terbit mentari yang menyinari dan membawa kedamaian
kepada dunia.
0 comments:
Post a Comment