Powered by Blogger.

Sunday, 27 July 2014

Frozen Fan Art 1


Anna

Well, for me, Anna is the hardest one to make. I worked really hard on those eyes and hair and i had no idea about the clothes. A bit confusing. For me, the outfit was epic fail xD

Bagi saya sih, Anna itu yang paling susah dibikin. Paling susah itu bikin mata sama rambutnya. Apalagi bajunya, nggak ngerti gimana bikinnya. Itu buktinya, bajunya Anna ancur xD


Elsa

Elsa is the first one to draw. Well, drawing her is not dat hard, but coloring her hair was so difficuilt. I was confused because i don't have the crayon so i use pencil color. Out of my expectation, her clothes were very easy to draw. Yea, it looks hard but actually it's pretty easy

Elsa itu yang pertama kali kugambar. Menggambar Elsa tidak sesusah yang kukira, tapi mewarnai rambutnya sangatlah sulit. Karena saya bingung tidak memiliki krayon yang pas. Tapi di luar dugaan, bajunya sangat mudah dibuat. Ya, keliatannya sih emang susah, tapi sebenernya mudah kok!


Olaf

Hey Everyone! Im Olaf and I love warm hugs. I knew everyone would tell me that Olaf is the easiest one to draw. Yeah, damn easy cause his main color is white, just let me add a bit of grey and everything fixed.

Hai Semuanya! Aku Olaf dan aku suka pelukan hangat. Semua orang bilang kalau Olaf adalah yang paling gampang digambar. Tentu, karena warna dasarnya cuma putih, dikasih abu-abu dikit udah perfect kok.

Publisher: Tama - 10:03

Di Ufuk Timur Langit Merah Putih

Cerita ini gue bikin maksud dan tujuannya adalah untuk mengikuti lomba Olimpiade Seni dan Bahasa Indonesia (OSEBI 2014) Namun sayang sekali belum beruntung :( Karena banyak yang nanyain, ini dia cerita yang kukirim waktu itu "Di Ufuk Timur Langit Merah Putih". Maaf kalau kurang bagus ya...



Di Ufuk Timur Langit Merah Putih


  

Tuhan..., tolong lindungi kami dari segala bahaya yang selalu mengancam diri kami. Ya Tuhan..., tolong selamatkan jiwa raga kami. Jangan biarkan mereka merenggut nyawa kami.

Jeeedaaar! Suara itu terdengar keras menembus telingaku. “Semuanya Tiarap!” seru Bu Lome, ibu guruku. Suara itu disambut beberapa bunyi peluru lainnya. Praaang! Kaca kelas kami pecah berhamburan. Keceriaan dan kebahagian kami seketika berubah menjadi kemuraman. Orang-orang bertubuh besar melepaskan beberapa tembakan. Aku terbungkam dalam suasana yang sama sekali tidak kusangka-sangka sebelumnya. Dengan cekatan, kuayunkan langkah menerobos kerumunan.

Terpikir olehku kejadian mencekam yang baru saja kualami. Di penghujung tahun 1998, kerusuhan sering terjadi antara golongan pro-kemerdekaan dan golongan anti-kemerdekaan yang berujung mengungsinya warga Timor Timur. Sebelumnya aku memang tinggal di Dili, ibukota provinsi Timor Timur. Namun karena adanya isu Timor Timur akan lepas dari Indonesia, aku terpaksa mengungsi ke Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Sesampaiku di rumah, aku mengeluarkan sehelai kertas, lalu menulisnya

‘Kini, Terbayang dalam benakku, kerusuhan dua tahun yang lalu. Kerusuhan yang merenggut nyawa ayahku. Waktu itu, ayahku yang merupakan golongan anti-kemerdekaan tidak menginginkan Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara baru....’ Begitu kutuliskan di sepucuk surat yang akan kutujukan kepada sosok Idolaku.

***

“Hoaaahm...” Aku terbangun dari tidurku. Pagi itu, mentari belum menampakkan sinarnya. Semilir angin pagi menusuk tulangku. Ingin rasanya aku kembali meringkuk di kasur seraya memeluk selimut yang hangat. Namun, kurasa itu tak mungkin karena pagi sudah hampir tiba. Aku mengenakan seragam sekolahku. Sebelum berangkat ke sekolah, tak lupa aku menyempatkan berpamitan diri kepada ibu. “Ibu, aku akan pergi ke sekolah,”. “Jangan nakal anakku sayang. Doa ibu menyertaimu,” Begitulah sepenggal doa yang selalu mengiringiku menuju sekolah.

Sekolahku berjarak empat kilometer dari pusat kota Atambua, Nusa Tenggara Timur. Sebelum itu, aku harus naik angkutan di terminal yang berjarak lima ratus meter dari rumahku. Sang surya kini mulai menampakkan sinarnya, seakan membakar api semangatku. Mengantarkanku ke suatu tempat dengan tujuan mulia. Seraya meniti langkah menuju sekolah, kusenandungkan sepotong lirik lagu “Bolelebo ita nusa lelebo~

“Gaby!” sosok wanita memanggilku dari kejauhan. “Jessie!” Ia adalah teman dekatku. Jessie merupakan keturunan dari orangtuanya yang memiliki darah Kupang-Australia. Jessie dapat berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, namun ia tidak bisa berbahasa Tetun. Tidak terasa, Kini tibalah aku di angkutan yang akan membawaku pergi ke sekolah.

Tiga puluh menit berlalu. Angkutan yang membawaku kini tiba di sekolah. Suasana sekolah sudah ramai, namun tidak ada keceriaan dan kegembiraan. Yang ada hanyalah suasana mencekam. Garis polisi dipasang dimana-mana. Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku melihat sekeliling, tidak ada teman-temanku. Apa yang telah terjadi? aku pun bertanya-tanya dalam hati.

Dap...  Dap....  Aku  mendengar  suara  langkah  kaki  mendekatiku.  “Ama
(Pak) Marco!” seruku. “Kenapa pak? Apa yang terjadi?”  Air mata membanjiri pipiku. “Daerah ini menjadi milik Timor Lorosae,” jelas pak Marco. Aku terperangah mendengar apa yang barusan kudengar. Bukannya tanah ini tanah milik Indonesia? Tanah peninggalan leluhur kita,” Aku semakin kebingungan.

Tanah yang selama ini milik leluhur, harus kami relakan berpindahtangan. Aku kehilangan teman-teman, guru, dan masa depanku. Maafkan kami wahai para leluhur. Kami telah gagal menjaga kepercayaanmu, menjaga tanah subur yang kau rawat dengan kasih sayang dan kau wariskan kepada kami.

Tiba-tiba, “Jeedaaar!” suara peluru kembali terdengar. Bahkan, kini terdengar semakin keras. “Jessie!” teriakku sambil mengulurkan tangan. Jessie masih terhanyut dalam suasana. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Dengan sigap kutarik lengan Jessie ke sebuah angkutan. “Pak, cepat jalan!!” Aku
berteriak kepada pak supir. “Sudah kucoba, tapi tetap tidak bisa,” Beliau terlihat panik. Aku pun bertambah bimbang, kenapa mobilnya harus mogok pada saat seperti ini.

Aku melihat mobil lain melaju dengan kecepatan tinggi. Aku dan Jessie segera keluar dari angkutan dan berlari mengejar mobil itu. “Paman Jetty?” aku terkejut. Paman Jetty adalah adik ibuku. “Kenapa kalian bisa ada di sini? Ayo cepat naik!” seru Paman Jetty. Jessie terlihat kebingungan, ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Paman Jetty. “Paman, berbahasa Indonesia yang baik dan benar dong! Jangan berbahasa Tetun, saya tidak mengerti,” protes Jessie. “Daerah ini sudah tidak aman. Ayo kita pergi dari sini!” seru Paman Jetty. “Tapi, bagaimana dengan sekolah kami?” aku bertanya kepada Paman Jetty. “Yang jelas, kalian harus pergi jauh dari sini”. Paman Jetty memberi kami nasihat. “Rumahmu dimana, sayang?” tanya Paman Jetty. “Rumahku disana. Di belakang warung kecil itu. Terimakasih,” ucap Jessie. Paman Jetty mengantar Jessie ke rumahnya.

Tak lama kemudian, aku pun sampai di rumah. “Aira! Keadaan di Motaain sudah parah, kita harus pindah dari Atambua,” seru paman Jetty. “Sudah kuduga akan terjadi seperti ini, kemana lagi kita akan mengungsi? Kita tidak mempunyai sanak saudara di luar sana!” Ibu terlihat sangat kebingungan. “Apapun yang terjadi, kita harus pergi dari sini, besok kau akan kujemput” Paman Jetty sudah pergi sebelum ibu sempat menjawab dengan sepatah kata.

Aku mengurung diri di dalam kamar. Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku merasa bimbang dengan semua ini. Kubaringkan tubuhku di pulau kapuk, perlahan kutarik selimut. Tok Tok Tok! Kudengar suara ketukan pintu. “Siapa?!” aku bertanya dari dalam kamar. “Aku Jessie!” seru sosok suara.

Rasanya malas sekali untuk bangkit dan membukakan pintu. Krieek! “Ada apa Jessie?” Saat itu mataku masih terpejam, aku lelah sekali. Di dalam hati aku menggerutu, Huh, mengganggu tidurku saja.

Mata Jessie berkaca-kaca, air matanya tak dapat dibendung lagi. “Ada apa

Jessie? Ceritakan padaku!” Aku mulai panik. “Ka-kata ayahku, aku akan pindah ke Australia. Indonesia sudah tidak aman, Gaby!” seru Jessie. “Apa? Kenapa harus pindah? Apa tidak bisa hidup berdampingan? Kenapa dunia ini kejam sekali kepada kami?” Seketika aku ambruk pingsan. “Ga..Gaby. Maafkan aku. Aku
harus pergi. Semoga kau selalu ingat persahabatan kita”. Aku mendengar samar-samar suara yang perlahan menghilang.

... “Gaby,” desah suara sayup-sayup memanggil namaku. Kini, sosok misterius muncul di hadapanku. “Ayah!” Aku berteriak senang lalu memeluk ayah. “Aku kangen ayah,”. Ayah membelai pipiku “Ternyata anak ayah sudah sebesar ini, ya,” Ayah mencubit-cubit pipiku. A..ayah, aku keluar dari kerusuhan NTT,” Bicaraku jadi berantakan karena baru sadar dengan apa yang ‘kulihat. Ayahku meninggal sejak dua tahun yang lalu. Jadi, dengan siapa aku berbicara?

“Kalian pindah saja dari NTT, aku tidak mau melihat kalian bernasib sama

denganku!” seru ayah dengan nada tinggi. “Apa! Ayah yang selama ini tidak seperti itu, aku tidak mau pindah dan besok pun ‘ku pastikan tidak ada yang pindah!” Semangatku membara-bara. “Itu baru anak ayah,” Perlahan suara tersebut sirna. Aku terbangun dari tidurku. Ah ternyata hanya mimpi, gumamku.

Ayah..., terimakasih atas semangat yang kauberikan! Kutahu kau sengaja mampir di dalam mimpiku, untuk memberikan sesuatu yang selama ini terpendam, yaitu semangatku untuk mengubah dunia dan cita-citaku untuk membawa perdamaian dan rasa toleransi dalam bermasyarakat. Terimakasih ayah.

***

‘Kepada : Bapak Presiden Indonesia B.J Habibie’ begitu tertulis di amplop suratku. Entah kapan surat ini akan sampai atau bahkan surat ini tidak akan pernah sampai ke tangan Bapak Presiden. Kugenggam surat ini dengan satu harapan, yang jelas aku ingin sekali Bapak Presiden membaca atau sekedar melihat sedikit lembaran-lembaran suratku.

Hembusan angin menerbangkan rambutku seakan membawaku ke suatu tempat. Pagi itu, sekitar pukul 06:34 ‘kuberjalan menuju terminal secara sembunyi-sembunyi, agar tidak tertangkap basah oleh ibu. Kalau sudah ketahuan, pasti aku dilarang pergi kesana. Kriiekk! Aku menutup pintu rumah. “Siapa itu?” Aku mendengar sosok suara. Gawat, ibu! gumamku dalam hati.

“Gaby? Apakah itu kau? Gaby!” Terdengar suara ibu dari dalam rumah. Aku berlari menuju terminal, berlari dan terus berlari. Perlahan tapi pasti. aku pun sampai di terminal Atambua. Sebuah mobil angkutan sudah terparkir di bawah pohon. “Pak! Antarkan aku ke Motaain sekarang juga!” seruku.
Tapi, bapak berangkat mulai jam delapan nanti,” jawab bapak yang biasa membawaku ke Motaain.

“Tidak ada waktu lagi pak, cepat jalan! Nanti kubayar sepuluh kali lipat,” tawarku. Dengan cepat, beliau mengemudikan mobil. Hanya beberapa langkah sebelum ibu sampai di terminal.

Maafkan aku ibu. Maafkanlah diriku yang telah melawanmu. Kumohon ibu, tolong jangan kejar anakmu yang keras kepala ini.

Beberapa menit berlalu, mobil yang mengangkutku sudah sampai di Motaain. Ya Tuhan..., Ternyata sekolahku sudah hancur seperti ini. Kenapa mereka tidak bisa menghargai kami? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba saja, Jeedaaar! Suara peluru itu lagi, gumamku. Kerumunan itu mulai mendekat. “Kau, cepat naik ke mobil!”  seru Bapak itu. “Tidak pak, aku di sini saja,” Aku menolak ajakannya. Beliau terlihat semakin panik karena kerumunan semakin mendekat. Bapak itu memperingatkanku lagi. Tapi, Terlambat, kerusuhan di Atambua tidak dapat dihindari.

“Gabyy!!!” teriak sosok suara. “Paman Jetty!” seruku. “Apa yang kamu lakukan disini? Ikut paman, kita pindah dari Atambua!” teriak Paman Jetty. “Aku tidak mau pindah dari Atambua, paman, tinggalkan aku di sini!” Aku mengelak. “Gaby, Lakukan saja apa yang kamu mau, ibu percayakan pada dirimu” Ibu menyemangatiku sambil mengelap air mataku yang mengalir deras. “Aira! Apa yang kamu lakukan! Cepat pergi dari sini! Suruh anakmu berhenti!” ajak Paman Jetty. “Tidak, Jetty. Biarkan ia melakukan apa yang ia mau,”  tolak ibu.

Sementara itu, kerusuhan semakin menjadi-jadi. Entah sudah berapa nyawa melayang sia-sia. Entah berapa tetes darah terbuang percuma hanya karena perselisihan yang tiada habis-habisnya ini. “Merdeka!” seru salah seorang sambil membawa bendera Indonesia. Huh, merdeka apanya? Seharusnya kemerdekaan diisi dengan prestasi bukan dengan ‘ribut’ yang tidak ada gunanya seperti ini. Tidak adakah jiwa toleransi dalam diri kalian? Tidak adakah rasa belas kasihan dalam diri kalian?

“Hentikaaan! Tolong hentikan semua ini!” Aku berteriak sekencang mungkin. “Anak kecil jangan campuri urusan kami! Kami hanya merebut yang menjadi hak kami, tanah leluhur kami!” seru salah seorang disambut sorak sorai ria. “Aku memang anak kecil! Tapi aku tidak punya pikiran seperti anak kecil
layaknya kalian semua. Memangnya dengan bertengkar bisa menyelesaikan masalah?” Aku mengencangkan suaraku. “Anak kecil jangan ikut campur urusan kami!” seorang pemuda berteriak menentang perkataanku.

“Tidak adakah rasa saling menghargai dalam diri kalian? Tidak adakah rasa saling menghormati dalam diri kalian? Tanah yang sudah jatuh ke pihak lain, tidak dapat kita rebut dengan cara seperti ini!” Aku menitikkan air mataku.

“Tolong... Hentikan kegiatan ‘sia-sia’ ini, jangan sampai ada korban jiwa,” lanjutku sambil mengelap air mataku yang membanjiri pipiku.

Jeedaarrrrr! Sebuah peluru dilayangkan. Buushh! Sebuah peluru melayang dalam sekejap mata, menembus tubuhku tepat di dada. Rasanya sakit, namun tidak sesakit hatiku menyaksikan semua ini. Sepucuk surat terjatuh dari genggaman tanganku. “Gaabby!” aku mendengar sosok suara. “Ibu...” rintihku.

Aku terjatuh tepat di pangkuan ibu. Tangis ibu tidak dapat dibendung. “Ibu..Maafkan aku,”. “Gaby! Bertahanlah!”. Mobil Ambulans dipanggil segera untuk menanganiku dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Namun, apa daya. Semua sudah terlambat, nyawaku tak tertolong. Detik itu juga kuhembuskan nafas terakhirku. Aku bangga telah berkorban demi bangsa. Kini ‘ku telah tenang berada di sisi-Nya. “Ayah... ‘Ku datang menyusulmu ke surga,”.

***

Tiga bulan kejadian itu, sepucuk surat sampai di Istana Negara. Di Amplop surat bertuliskan nama pengirim “Gabriella Patricia Fernandez’ yang ditujukan kepada ‘Bapak Presiden Indonesia B.J Habibie’. Seorang bapak dengan gelar tertinggi di Indonesia terlihat membaca lembaran-lembaran surat yang ia terima. Beliau menitikkan air mata tanda haru. Ditutupnya lembaran-lembaran surat yang dikirim dari perbatasan Motaain.

Di Dili, 4 September 1999 diadakan sebuah jajak pendapat yang dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. Beberapa waktu setelah itu, Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia. Merdeka menjadi sebuah negara baru. Setelah itu, tidak ada lagi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Kini, kedua negara itu saling hidup berdampingan dengan harmonis di Pulau Timor.

Kini, di ufuk timur langit merah putih, telah terbit mentari yang menyinari dan membawa kedamaian kepada dunia.
Publisher: Tama - 09:31
 

΄